0811 488 169

Kontak Kami Segera



Instagram

Kuasa Hukum minta Polda Papua segera tindaklanjuti kasus kematian Yeremias Magai

Law Firm Aloysius Renwarin > Berita  > Kuasa Hukum minta Polda Papua segera tindaklanjuti kasus kematian Yeremias Magai

Kuasa Hukum minta Polda Papua segera tindaklanjuti kasus kematian Yeremias Magai

Jayapura, Jubi – Kuasa hukum keluarga Yeremias Magai meminta Kepolisian Daerah (Polda) Papua segera menangani kasus kematian Yeremias, seorang katekis (pewarta) di Stasi Kristus Raja Damai, Keuskupan Timika, dan anggota Satuan Pamong Praja Kabupaten Nabire.

Yeremias diduga tewas akibat penganiayaan dan penyiksaan oleh anggota Polres Nabire saat penyelidikan di ruang penyidik pada 3 September 2024, bertepatan dengan kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.

Menurut Yustinus Butu, kuasa hukum keluarga, Yeremias Magai diduga dianiaya karena dituduh terlibat dalam pembunuhan seorang satpam bernama Supriyono (32), yang terjadi pada 23 Agustus 2024 di Pos Jaga CV Kurnia Jasa Mandiri, Distrik Nabire. Namun, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh tim hukum keluarga korban, tuduhan tersebut dinilai janggal dan tidak berdasar.

“Tuduhan ini tidak memiliki bukti kuat, sehingga kami menilai bahwa kasus ini penuh rekayasa yang dilakukan oleh aparat Polres Nabire. Tindakan kekerasan dan pembunuhan di luar hukum yang menewaskan Yeremias Magai tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM) maupun hukum positif,” ujar Butu dalam konferensi pers di Jayapura, Rabu (2/10/2024).

Butu menambahkan tindakan yang mengakibatkan kematian Yeremias mencerminkan pelanggaran serius terhadap martabat manusia dan hak asasi. Keluarga korban sangat menyesalkan kejadian tersebut, terlebih karena Yeremias adalah seorang katekis yang meninggal saat kunjungan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik.

“Apa pun tuduhannya, setiap tersangka atau terdakwa harus dianggap tidak bersalah sebelum pengadilan memutuskan dengan kekuatan hukum tetap. Namun, asas ini diabaikan oleh anggota Polres Nabire dalam kasus ini,” tegas Butu.

Kuasa hukum lainnya, Aloysius Renwarin, menambahkan bahwa tuduhan terhadap Yeremias Magai, Ken Boga, dan Agus Tagi sebagai pelaku pembunuhan Supriyono tidak terbukti. Berdasarkan investigasi, Supriyono dibunuh oleh orang tak dikenal, dan tidak ada bukti yang mengaitkan ketiganya dengan pembunuhan tersebut. Renwarin menilai bahwa penangkapan Yeremias dan Ken Boga tidak sah, karena tidak didukung oleh bukti yang cukup.

“Penangkapan ini melanggar Pasal 17 KUHAP, karena tidak didukung oleh dua alat bukti yang sah. Kami telah melaporkan kasus ini ke Kapolda Papua, Propam Polda Papua, dan Komnas HAM,” jelas Renwarin.

Menurut Renwarin, tuduhan tersebut sangat tidak sah, karena Yeremias dan Ken tidak pernah dipanggil untuk memberikan keterangan awal sebagai saksi dalam kasus pembunuhan satpam di Sanoba. Kematian Yeremias yang diduga akibat penganiayaan anggota Polres Nabire merupakan pelanggaran hukum dan HAM yang serius.

“Kami mendesak Polda Papua segera mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap Kapolres Nabire beserta jajarannya, dan meminta agar mereka diperiksa serta diberi sanksi pidana maupun etika,” kata Renwarin.

Kuasa hukum juga meminta perhatian khusus dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk menindaklanjuti kasus ini, mengingat ini menyangkut citra Indonesia di mata dunia, khususnya dalam penegakan hukum dan HAM. Mereka juga meminta Komnas HAM RI segera melakukan investigasi mendalam atas kematian Yeremias Magai.

“Kami memohon kepada lembaga-lembaga HAM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan Dewan Gereja Papua untuk turut mengawal kasus ini agar diusut secara adil dan tuntas. Para pelaku yang diduga adalah anggota Polres Nabire harus diberi hukuman setimpal, baik sanksi pidana maupun etika,” kata Butu.

Butu menegaskan bahwa tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang harus diakhiri. Aparat Polres Nabire, maupun penegak hukum lainnya di Tanah Papua, diminta untuk menghentikan segala bentuk kekerasan fisik dan psikis, termasuk penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar putusan pengadilan (extra-judicial killing).

“Kami ingin semua pihak memahami bahwa tidak ada ruang untuk tindakan kekerasan dalam penegakan hukum di Tanah Papua. Hak asasi manusia harus dihormati,” tutupnya. (*)